Berapa Harus Kubayarkan Mahar Untuknya?
Berapa Harus Kubayarkan Mahar Untuknya?

Siapa yang tidak ingin hidup dalam sakinah, mawaddah, dan rahmah? Tentu semua orang menginginkan hal itu. Namun, terkadang apa yang diharapkan tidak selalu didapatkan. Kadang, perpisahan justru menjadi solusi atas kebersamaan yang tidak menghadirkan sakinah. Maka, penting untuk diingat bahwa untuk meraih sakinah, mawaddah, dan rahmah, ada jalan yang harus ditempuh. Salah satunya berkaitan dengan mahar. Bagaimana mungkin seseorang berharap rumah tangganya akan sakinah jika mahar yang diberikan kepada istrinya berasal dari sesuatu yang haram? Sulit untuk mencapai sakinah dalam kondisi seperti itu.

Dalam syariat Islam, mahar hukumnya adalah wajib diberikan kepada wanita. Apa dalilnya? Allah berfirman,

 

ﵟوَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ نَفۡسٗا فَكُلُوهُ هَنِيٓـٔٗا مَّرِيٓـٔٗاﵞ 

“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS An-Nisa: 4)

 

Berbicara kewajiban mahar, ini adalah sesuatu yang disepakati oleh para ulama. Meskipun seorang wanita itu kaya dan mungkin berkata, "Aduh, saya tidak butuh mahar, yang penting kamu mau menikah dengan saya," mahar tetap wajib diberikan. Perlu diingat, tidak semua orang mampu membayar mahar yang besar. Ada sebuah hadis dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, berkata,

“Ada seorang wanita datang kepada Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang menyerahkan diriku untukmu.”

Maka Rasulullah memandang wanita itu, lalu menundukkan kepalanya. Ketika wanita itu melihat bahwa Rasulullah tidak memberi keputusan, ia pun duduk.

Lalu seorang lelaki dari sahabat berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau tidak menginginkannya, maka nikahkanlah aku dengannya.”

Nabi bertanya, “Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk dijadikan mahar)?”
Lelaki itu menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah.”
Nabi
bersabda, “Pergilah ke keluargamu dan lihat apakah ada sesuatu.”
Ia pun pergi dan kembali seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak mendapatkan apa pun.”
Nabi
bersabda, “Carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”
Ia pergi dan kembali lagi, “Demi Allah, aku tidak punya apa-apa, bahkan cincin dari besi sekalipun. Tapi aku ingin engkau menikahkanku dengannya.”

Nabi bertanya, “Apakah kamu hafal sebagian dari Al-Qur’an?”
Ia menjawab, “Ya, aku hafal surah ini dan itu,” lalu ia menyebutkannya.
Nabi
bersabda, “Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar hafalan Al-Qur’an yang ada padamu (untuk diajarkan kepada istrimu).” (HR Bukhari, no. 5017)

Hadis ini menjadi dalil yang kuat bahwa mahar itu wajib. Jika mahar tidak diwajibkan, maka sahabat ini adalah orang yang paling layak untuk tidak membayar mahar. Namun, faktanya, pernikahan tetap tidak dilanjutkan tanpa mahar. Artinya ... 

“Mahar harus tetap ada dalam pernikahan, meskipun bentuknya sangat sederhanaPara ulama telah bersepakat bahwa mahar adalah sebuah kewajiban dalam pernikahan.

 


Berapa Besar Mahar yang Harus Diberikan?

Berdasarkan kesepakatan para ulama, mahar itu tidak ada batas maksimal dan minimalnya. Namun, dianjurkan untuk tidak terlalu mahal. Rasulullah bersabda,

 

خَيْرُ ‌النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ

“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (ringan) pelaksanaannya.” (HR Abu Daud, no. 2117, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani)

 

Mahar Putri dan Istri Nabi

Kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa mahar di masa Nabi adalah jumlah yang kecil, sedangkan di masa kita jumlahnya menjadi besar. Putri Nabi , Fathimah radhiyallahu ‘anha ketika dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dalam hadis dari Ibnu Abbas, beliau menceritakan,

 

لَمَّا تَزَوَّجَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: "أَعْطِهَا شَيْئًا"، قَالَ: مَا عِنْدِي شَيْءٌ، قَالَ: "أَيْنَ دِرْعُكَ ‌الْحُطَمِيَّةُ؟"

Ketika Ali menikahi Fatimah, Rasulullah berkata kepadanya: 'Berikan sesuatu kepadanya (untuk mahar).' Ali menjawab: 'Aku tidak memiliki apa-apa.' Maka Rasulullah bertanya: 'Di mana baju besi Huthamiyyah-mu itu?” (HR Abu Dawud).

 

Hal ini menunjukkan bahwa mahar seorang putri Rasulullah sangat sederhana, bahkan disebutkan dalam riwayat lain bahwa baju besi tersebut hanya seharga beberapa dirham saja. Namun, Rasulullah tetap menerima lamaran Ali dan menihkahkannya dengan Fatimah.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

 

أَلَا لَا تُغَالُوا بِصُدُقِ النِّسَاءِ، فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا، أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ لَكَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم، مَا أَصْدَقَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، وَلَا أُصْدِقَتْ امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ أَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً

“Janganlah kalian meninggikan mahar wanita. Jika mahar termasuk kemuliaan di dunia atau ketakwaan di akhirat, tentulah Nabi lebih dulu melaksanakannya. Namun, beliau tidak pernah memberikan mahar kepada satu pun dari istri-istrinya, dan tidak pula untuk putri-putrinya lebih dari dua belas uqiyah.” (HR Abu Daud, no. 2106, dishahihkan oleh Syekh Al-Albani)

 

Sesungguhnya, ada seorang lelaki yang dibebani mahar yang memberatkannya, hingga dalam dirinya timbul rasa permusuhan terhadap istrinya. Namun perlu diingat, tidak ada batasan nominal untuk mahar. Kalau memang tidak mampu, ya jangan paksakan untuk menikahinya. “Tapi saya cinta banget sama dia.” Kalau begitu, apakah rasa cinta itu akan membuatmu bahagia selamanya? Bisa jadi, justru engkau akan menjalani kehidupan yang penuh penderitaan.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata,

"Barang siapa yang terdorong oleh dirinya untuk menaikkan mahar putrinya melebihi mahar putri-putri Rasulullah , padahal mereka adalah makhluk Allah yang paling mulia dalam setiap keutamaan, dan termasuk wanita terbaik di seluruh alam dalam setiap sifat, maka ia adalah orang yang jahil dan dungu. Begitu pula halnya dengan mahar istri-istri Nabi (ummul mukminin). Hal ini berlaku bagi orang yang mampu dan berkecukupan. Adapun orang fakir dan yang semisalnya, maka tidak sepantasnya ia memberikan mahar kepada wanita kecuali sesuai dengan kemampuannya, tanpa kesulitan." (Majmu‘ al-Fatawa, 32/194).

Intinya, pernikahan bukanlah sarana untuk memperkaya diri, melainkan merupakan ikhtiar untuk membangun rumah tangga yang diliputi ketenangan (sakinah), kasih sayang (mawaddah), dan rahmat.


Tulisan ini disadur dari serial kajian Fiqih Keluarga berjudul “Berapa Harus Kubayarkan Mahar Untuknya?” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).