

Taubat bukan sekadar
ucapan istighfar. Ia butuh keberanian, pengorbanan, dan kesabaran panjang.
Kisah Ka’ab bin Malik, menunjukkan bagaimana penyesalan yang jujur bisa mendatangkan
kegembiraan saat Allah menerima taubat mereka. Apa rahasianya hingga kisahnya diabadikan
dalam Al-Qur’an?
Bertaubat bukanlah
perkara mudah. Ia membutuhkan perjuangan, pengorbanan, kesabaran, dan proses
yang tidak sebentar, bukan sesuatu yang bisa selesai dalam satu atau dua hari
saja. Ini tercermin dari kisah tiga sahabat Nabi ﷺ: Ka’ab bin
Malik, Murarah bin Rabi’ Al-Amiri, dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi.
Kisah mereka
diabadikan dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Ka’ab bin Malik, anak dari Ka’ab sendiri. Ia mendengar langsung dari ayahnya
tentang bagaimana beliau menyesal karena tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Ia
mengatakan bahwa selama hidupnya, ia hampir selalu ikut berperang bersama
Rasulullah ﷺ, kecuali dalam dua kesempatan: Perang Badar dan Perang Tabuk.
Mengapa ketidakhadiran
di Perang Tabuk tercela, sedangkan tidak ikut Perang Badar tidak? Karena Perang
Badar terjadi secara tiba-tiba, bukan untuk berperang sejak awal, melainkan
untuk menghadang kafilah dagang Quraisy dan tidak semua sahabat diperintahkan
ikut. Namun, Perang Tabuk berbeda, Nabi ﷺ mengajak seluruh kaum Muslimin
yang mampu untuk turut serta, karena medan yang berat dan musuh yang besar,
yaitu pasukan Romawi. Bahkan, tujuan perang kali ini diumumkan secara
terang-terangan.
Ka’ab menceritakan
bahwa saat itu kondisinya sangat baik, baik secara fisik maupun finansial. Ia
bahkan memiliki dua tunggangan, sesuatu yang belum pernah ia miliki sebelumnya.
Namun, ia terus menunda-nunda, merasa masih ada waktu. Hingga akhirnya pasukan
Rasulullah ﷺ berangkat tanpa dirinya, dan penyesalan pun datang. Ia berkata
dalam hati, “Seandainya aku ikut bersama mereka…”
Selama Rasulullah ﷺ dan pasukannya
di medan perang, Ka’ab merasa sangat terasing di Madinah. Setiap keluar rumah,
ia hanya bertemu dengan orang-orang munafik atau mereka yang memang mendapat
uzur dari Allah karena sakit atau kelemahan. Ia tak lagi menemukan teladan di
sekitarnya, dan hatinya semakin gundah.
Rasulullah ﷺ baru menyadari
ketidakhadiran Ka’ab setelah tiba di Tabuk. Beliau bertanya kepada para sahabat
tentangnya. Seorang dari Bani Salamah meremehkan Ka’ab dengan mengatakan bahwa
dia terlalu sibuk dengan pakaiannya. Mu’adz bin Jabal segera membela, “Kami
tidak tahu tentang Ka’ab selain kebaikan.”
Menjelang kembalinya
Rasulullah ﷺ ke Madinah, Ka’ab mulai gelisah. Ia bahkan sempat berpikir
untuk membuat alasan palsu agar tidak dimarahi Nabi ﷺ. Namun, saat
Rasulullah ﷺ benar-benar mendekati Madinah, Ka’ab mantap dengan
keputusannya: ia akan berkata jujur, apapun risikonya. Ia yakin bahwa
kejujuran, meski berat, adalah jalan yang diridai Allah. Nabi ﷺ bersabda,
عليكم
بالصِّدقِ، فإنَّ الصِّدقَ يَهدي إلى البرِّ، وإنَّ البرَّ يَهدي إلى الجنَّةِ،
وما يزالُ الرَّجلُ يَصدُقُ ويتحرَّى الصِّدقَ حتَّى يُكتَبَ عندَ اللهِ صدِّيقًا
“Hendaklah kalian selalu
berkata jujur, karena kejujuran akan membimbing kepada kebaikan, dan kebaikan
akan mengantarkan ke surga. Seseorang yang terus membiasakan diri jujur dan
berusaha jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur.” (HR Muslim, no. 2607)
Orang yang terbiasa
jujur akan terus berada dalam kejujuran. Sebaliknya, orang yang terbiasa
berbohong, lama-kelamaan tidak lagi merasa takut untuk berbohong.
Rasulullah ﷺ tiba di
Madinah pada pagi hari. Setelah tiba, beliau langsung ke masjid, shalat dua
rakaat, dan duduk untuk menerima kedatangan orang-orang. Satu per satu orang
yang tidak ikut perang datang menyampaikan alasan mereka. Jumlahnya sekitar
delapan puluh orang. Nabi ﷺ menerima alasan mereka, membaiat mereka, dan memohonkan ampun,
tetapi beliau menyerahkan isi hati mereka kepada Allah ﷻ.
Ketika giliran Ka’ab
tiba, Rasulullah ﷺ menyambutnya dengan senyum yang tidak biasa, senyum orang yang
sedang menahan marah. Beliau mempersilakan Ka’ab duduk, lalu bertanya, “Apa
yang membuatmu tertinggal? Bukankah kamu sudah memiliki tunggangan?”
Ka’ab menjawab dengan
penuh kejujuran,
“Wahai
Rasulullah, seandainya aku duduk di hadapan orang lain, mungkin aku bisa lolos
dengan alasan yang terdengar masuk akal. Aku memang pandai berbicara, tetapi
demi Allah, jika aku berbohong hari ini yang membuat engkau senang, pasti Allah
akan membuatmu marah kepadaku dalam waktu dekat. Maka aku memilih berkata
jujur, meski engkau marah, karena aku berharap kebaikan dari Allah ﷻ. Demi Allah, aku tidak punya alasan. Aku tidak pernah merasa
sekuat dan sesiap ini, tapi aku tetap tertinggal.”
Mendengar itu,
Rasulullah ﷺ berkata,
“Orang ini
telah berkata jujur. Bangkitlah sampai Allah memutuskan tentangmu.”
Beberapa orang
mendekati Ka’ab dan menyayangkan kejujurannya. Mereka berkata, “Mengapa kamu
tidak berbohong saja? Engkau hanya sekali ini salah, dan Nabi ﷺ pasti akan
memohonkan ampun untukmu.” Tapi Ka’ab tetap teguh. Ia bertanya, “Adakah yang
jujur seperti aku?” Mereka menjawab, “Ya, ada dua orang: Murarah bin Rabi’ dan
Hilal bin Umayyah.” Ka’ab pun merasa tenang, karena tidak sendirian.
Rasulullah ﷺ kemudian
memerintahkan agar ketiganya diboikot oleh seluruh kaum Muslimin. Tidak ada
yang boleh menyapa, berbicara, atau berinteraksi dengan mereka. Madinah terasa
asing. Ka’ab tetap salat berjamaah, tapi seakan tak terlihat. Murarah dan Hilal
bahkan hanya berdiam diri di rumah, menangis setiap hari.
Suatu hari, Ka’ab
menerima surat dari Raja Ghassan yang mengajaknya bergabung ke wilayahnya. Ini
godaan besar. Tapi Ka’ab langsung membakar surat itu. Ia sadar ini ujian dari
Allah ﷻ.
Setelah 40 hari,
datang perintah tambahan dari Rasulullah ﷺ: mereka harus berpisah dari
istri mereka. Ka’ab bertanya, “Apakah aku harus menceraikannya?” Utusan
menjawab, “Tidak, tapi jangan mendekatinya.” Maka Ka’ab meminta istrinya
kembali ke rumah orang tuanya. Hilal pun melakukan hal yang sama, tetapi
istrinya meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk tetap merawat suaminya
yang sudah tua dan lemah. Nabi ﷺ mengizinkan. Hilal terus
menangis setiap hari, bukan karena dunia, tapi karena takut kepada Allah ﷻ.
Akhirnya, pada hari
ke-50, datanglah kabar gembira: Allah telah menerima taubat mereka bertiga. Allah
ﷻ berfirman,
ﵟوَعَلَى ٱلثَّلَٰثَةِ ٱلَّذِينَ خُلِّفُواْ
حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ وَضَاقَتۡ عَلَيۡهِمۡ
أَنفُسُهُمۡ وَظَنُّوٓاْ أَن لَّا مَلۡجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيۡهِ ثُمَّ
تَابَ عَلَيۡهِمۡ لِيَتُوبُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ 118ﵞ
“Dan terhadap tiga orang yang
ditangguhkan (penerimaan tobat mereka), hingga apabila bumi terasa sempit bfagi
mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun terasa sempit, serta mereka
yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah selain kepada-Nya. Kemudian Allah
menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS At-Taubah: 118)
Saat mendengar kabar
itu, Ka’ab langsung bersujud syukur. Ia segera menemui Rasulullah ﷺ yang
menyambutnya dengan wajah cerah dan berkata, “Bergembiralah dengan hari terbaik
yang pernah engkau alami sejak engkau dilahirkan oleh ibumu.” Ka’ab bertanya,
“Apakah ini datang dari engkau atau dari Allah?” Rasulullah ﷺ menjawab,
“Dari Allah.”
Sebagai bentuk
syukurnya, Ka’ab menginfakkan seluruh hartanya, kecuali sebagian dari yang ia
miliki di Perang Khaibar. Ia juga berjanji, seumur hidupnya, tidak akan lagi
mengucapkan apa pun kecuali kejujuran.
Inilah pelajaran besar
dari kisah ini: salah satu tanda diterimanya taubat adalah perubahan diri ke
arah yang lebih baik, lebih dekat kepada Allah ﷻ. Karena balasan dari kebaikan
adalah kebaikan berikutnya.
Tulisan ini disadur dari serial kajian kitab Riyadush Shalihin karya Imam An-Nawawi berjudul “Bab Taubat – Pertemuan 1” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru




