

Fenomena fatherless (ketiadaan figur ayah) merujuk
pada kondisi anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah dalam kehidupan
sehari-hari. Bukan karena ayah telah meninggal dunia, tetapi karena minimnya
interaksi langsung. Entah karena alasan pekerjaan, merantau, atau kesibukan
lainnya. Ada ayah yang hanya bisa pulang setiap empat bulan, enam bulan, bahkan
setahun sekali.
Hal tersebut, sebenarnya dapat diatasi bila ayah tidak
salah dalam memilih istri. Seorang ibu yang salehah mampu menggantikan sebagian
besar peran ayah yang sibuk di luar rumah. Imam Syafi‘i contohnya, meski
ditinggal wafat ayahnya sejak kecil, ia tetap tumbuh menjadi ulama besar berkat
peran ibunya.
Namun, berbeda ceritanya bila sang ibu terus-menerus
mengeluh, menanamkan narasi buruk tentang ayah kepada anak. Anak akan tumbuh
dengan luka psikologis, kehilangan kepercayaan, dan mudah membenci. Maka,
memilih pasangan hidup bukan hanya untuk urusan dunia, tapi juga investasi
akhirat.
Ada fenomena lain yang tak kalah menyedihkan: ayah hadir
di rumah, tetapi secara emosional dan psikologis tidak ada. Anak-anak hanya
mengenal ayah sebagai sosok yang marah-marah, memaki, atau bersikap dingin.
Bahkan ada anak yang sampai berdoa agar ayahnya tidak pulang karena takut. Ini
menunjukkan bahwa kehadiran fisik saja tidak cukup. Dibutuhkan kehadiran hati,
perhatian, dan komunikasi yang hangat.
Salah satu solusi yang sederhana, tetapi tetap bermakna
adalah membatasi penggunaan ponsel ketika di rumah. Jika memang ada pekerjaan,
komunikasikan kepada anak. Dengan begitu, anak akan belajar menghargai waktu
dan pekerjaan orang tuanya, sekaligus merasa dihargai.
Dampak Ketidakhadiran Ayah dalam Keluarga
Salah satu faktor penting dalam pendidikan anak adalah
kehadiran figur ayah di rumah. Ketidakhadiran ini bukan hanya soal fisik
(seperti merantau atau bekerja di luar kota) tetapi juga ketidakhadiran secara
emosional dan spiritual. Ketidakhadiran sosok ayah dalam keluarga dapat
menyebabkan dampak psikologis dan sosial yang mendalam bagi perkembangan anak,
diantaranya:
1. Kesulitan Mengelola Emosi dan Konsep Diri Anak
Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah seringkali
mengalami kesulitan dalam mengelola emosi serta memiliki konsep diri yang
lemah. Padahal, pelukan dan pujian dari seorang ayah saja sudah mampu membuat
anak merasa dihargai dan percaya diri. Anak yang merasa “aku punya ayah yang
mencintaiku” akan tumbuh dengan keyakinan dan stabilitas emosi.
Sebaliknya, ketika ayah tidak hadir, baik secara fisik
maupun kasih sayang, anak tumbuh dengan kekosongan emosional. Anak laki-laki
akan kehilangan sosok teladan sebagai laki-laki, dan anak perempuan tidak
mendapatkan gambaran tentang perlindungan dan cinta dari sosok ayah, yang pada
akhirnya bisa membuatnya mencari pengganti kasih sayang itu di luar rumah.
2. Masalah Perilaku dan Sosial
Anak-anak tanpa figur ayah cenderung mengalami masalah
perilaku. Mereka lebih rentan untuk menjadi pelaku kekerasan (bully), pelaku
kejahatan, bahkan terjerumus dalam perilaku menyimpang seperti perzinaan. Dalam
banyak kasus, anak-anak yang menjadi pelacur, pengguna narkoba, atau pelaku
kekerasan, ternyata berasal dari rumah yang tidak harmonis dan jauh dari sosok
ayah yang mendidik.
Hal ini diperkuat dengan fenomena anak-anak perempuan
yang mudah terpedaya oleh pujian laki-laki asing di media sosial, karena mereka
tidak mendapatkan cinta, pujian, atau sanjungan dari ayahnya.
Rumah tangga yang penuh dengan ungkapan kasih sayang dan
pujian tulus antara suami istri akan menciptakan lingkungan emosional yang
hangat bagi anak. Anak-anak yang merasa dicintai dan dihargai di dalam rumah
tidak akan merasa perlu mencari perhatian atau kasih sayang dari luar.
Bahkan, apresiasi sederhana seperti memuji penampilan
anak, misalnya, "Masya Allah, cantiknya kamu hari ini, sini ayah
peluk," bisa memberi dampak besar pada rasa percaya diri dan ketenangan
jiwa mereka.
3. Penurunan Prestasi Akademik
Ketidakhadiran ayah juga berdampak pada prestasi akademik
anak. Kurangnya perhatian, arahan, dan motivasi dari ayah menyebabkan anak
menjadi malas, kurang semangat belajar, dan gagal mengembangkan potensi
dirinya.
Namun, jika seorang ibu mampu menjalankan peran
pendidikan dengan sungguh-sungguh, insya Allah anak tetap dapat tumbuh menjadi
pribadi yang saleh, meskipun tanpa kehadiran ayah. Sebaliknya, apabila kedua
orang tua sama-sama abai dalam mendidik, maka kerusakan pada anak sangat
mungkin terjadi.
4. Kenakalan Remaja dan Pergaulan Bebas
Kita hidup di tengah darurat narkoba dan seks bebas.
Remaja yang tumbuh tanpa figur ayah menjadi sasaran empuk bagi lingkungan
buruk. Bahkan ada upaya untuk melegalkan perzinaan dengan dalih “seks yang
aman” (yang penting tidak hamil, tidak tertular penyakit, dan tidak
mempermasalahkan aspek moral).
Ironisnya, ketika ayah naudzubillah justru menjadi
pelaku zina di luar rumah, hal ini akan sangat berpengaruh pada keteladanan
dalam rumah tangga. Tidak jarang anak-anak meniru perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh orang tuanya, sadar atau tidak.
5. Penyimpangan Sosial dan Kesehatan Mental
Ketidakhadiran ayah juga membuka jalan bagi anak untuk
menjadi tunawisma, mengalami eksploitasi seksual, hingga mengalami gangguan
kesehatan fisik dan mental. Mereka sulit membangun hubungan sehat ketika
dewasa, mudah marah, dan memiliki potensi besar untuk gagal dalam rumah tangga
sendiri.
Kebanyakan ayah hanya berpikir tentang bekerja dan
mencari nafkah, tanpa menyadari bahwa anak-anak membutuhkan perhatian dan cinta
yang nyata, bukan hanya uang.
6. Warisan Trauma Antar Generasi
Ketidakhadiran atau kehadiran ayah yang kasar dan penuh
amarah juga meninggalkan trauma antar generasi. Seorang suami yang terbiasa
marah-marah di rumah seringkali meniru sikap ayahnya dulu yang juga pemarah.
Maka, trauma masa lalu bisa diwariskan jika tidak disadari dan diperbaiki.
Anak-anak tidak butuh banyak hal untuk merasa aman.
Terkadang, cukup dengan melihat ayahnya duduk tenang di rumah, mereka sudah
merasa tenteram. Ada kisah seorang anak yang bermain di dalam rumah, lalu
berkata kepada ayahnya, “Ayah, duduk saja di situ.” Ketika ditanya mengapa, ia
menjawab, “Karena kalau melihat ayah, aku jadi tenang.”
Peran orang tua tidak
seharusnya terbatas pada pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan dan minum
saja. Anak-anak juga membutuhkan kasih sayang, arahan, pelukan, serta teladan
yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ketika seorang ayah terpaksa
harus sering berada jauh karena tuntutan pekerjaan atau pendidikan, sangat
penting baginya untuk memilih pasangan hidup yang mampu menjalankan dan
menggantikan peran tersebut dengan sebaik-baiknya.
Tulisan ini disadur dari kajian berjudul “Mengevaluasi Peran Orang Tua” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru

.png
)
 dalam Pandangan Islam.png
)

