

Ketika bulan Dzulhijjah menjelang,
pertanyaan ini kerap muncul di benak banyak orang: “Apakah saya sudah wajib
berkurban?” Sebagian orang merasa belum pantas, belum mampu. “Rumah masih
ngontrak, motor lawas, tabungan pun belum seberapa, apakah saya termasuk orang
yang terkena kewajiban kurban?” Pertanyaan ini sangat relevan, terutama di
tengah kondisi hidup yang makin menantang.
Islam sebagai agama yang penuh rahmat tidak
membebani umatnya melebihi kemampuannya.
Namun, apakah ibadah kurban hanya untuk
mereka yang sudah mapan? Apakah harus kaya dulu baru wajib berkurban? Atau justru ada ukuran lain yang menjadi tolak
ukur jatuhnya kewajiban ini?
Hukum berkurban memang menjadi salah satu
hal yang diperselisihkan di kalangan ulama. Ada yang mewajibkannya bagi yang
mampu, dan ada pula yang memandangnya sebagai sunnah yang sangat ditekankan
(sunnah muakkadah). Pendapat mayoritas ulama menyebut bahwa kurban adalah
ibadah yang sangat dianjurkan dan makruh ditinggalkan bagi yang mampu.
Yang diperintahkan untuk berkurban adalah
orang yang memiliki kelapangan rezeki, yakni mereka yang kebutuhan pokok
dirinya dan keluarganya telah terpenuhi, lalu masih memiliki kelebihan harta.
Kelebihan inilah yang bisa digunakan untuk membeli hewan kurban tanpa
mengganggu biaya hidup sehari-hari.
Bentuk kelapangan rezeki ini tidak harus
selalu terlihat dari rumah besar atau kendaraan mewah. Bisa jadi seseorang
tinggal di rumah kontrakan, motornya lawas, tapi ia memiliki tabungan yang
cukup atau uang lebih yang memang tidak sedang dipakai untuk kebutuhan penting.
Maka orang seperti ini termasuk dalam kategori “mampu” dan dianjurkan untuk
berkurban.
Banyak orang berpikir bahwa kurban itu
hanya untuk mereka yang sudah mapan secara total. Padahal, Islam memandang
kemampuan itu dari kecukupan dan adanya kelebihan. Jadi, selama ibadah kurban
itu tidak memberatkan dan tidak menzalimi diri sendiri atau keluarga, maka itu
adalah kesempatan yang sayang jika dilewatkan.
Allah ﷻ sangat mencintai amalan-amalan yang wajib. Ketika
seorang hamba ingin lebih dekat lagi kepada-Nya, maka ia pun akan semangat
mengerjakan amalan-amalan sunnah. Tapi sering kali kita dengar ucapan seperti,
“Ah, kurban kan cuma sunnah,” atau “Tahun kemarin udah kurban, sekarang gak
dulu deh.” Padahal, kalau benar-benar ingin dekat dengan Allah, justru amalan
sunnah yang ditekankan seperti kurban ini adalah jalan untuk meraih cinta-Nya.
Coba kita renungkan sejenak. Dalam
keseharian, tidak sedikit dari kita yang mampu mengeluarkan harta untuk hal-hal
yang mubah, membeli kendaraan, membeli handphone baru, bahkan berlibur ke
berbagai tempat. Padahal, semua itu bukan kewajiban, bukan pula ibadah sunnah.
Namun, karena ada keinginan dan kecukupan dana, kita lakukan tanpa ragu.
Lantas mengapa ketika berhadapan dengan
ibadah yang jelas-jelas dianjurkan dalam agama, kita justru sering mencari-cari
alasan? Hanya karena status hukumnya sunnah, sebagian dari kita merasa enggan mengamalkannya.
Padahal, justru amalan sunnah yang dilakukan dengan kesungguhan dan keikhlasan
itulah yang mengangkat derajat seorang hamba di sisi Allah ﷻ.
Jika semua orang hanya mengerjakan yang
wajib, maka dimanakah letak perbedaan antara hamba yang dicintai Allah, dan
yang sekadar menunaikan kewajiban? Sunnah adalah pintu menuju kedekatan, dan
sunnah menjadi bukti cinta seorang hamba kepada Rabb-nya. Maka, jangan
sepelekan ibadah kurban hanya karena ia bukan kewajiban mutlak. Sebab bisa
jadi, dari ibadah yang kita anggap kecil inilah Allah ﷻ menurunkan rahmat dan keberkahan yang besar dalam
hidup kita.
Coba kita renungkan firman Allah ﷻ dalam surah
Al-Kautsar,
ﵟإِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ 1 فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَٱنۡحَرۡ 2ﵞ
“Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi
Muhammad) nikmat yang banyak. Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah.” (QS Al-Kautsar: 1–2)
Sebelum Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk
berkurban, Allah terlebih dahulu menyebutkan bahwa Allah telah melimpahkan
nikmat-Nya. Setelah menyampaikan bahwa Dia telah memberi kebaikan yang
melimpah, barulah datang perintah untuk shalat dan menyembelih hewan kurban.
Ini menjadi isyarat kuat bahwa berkurban adalah bagian dari syukur. Maka,
ketika seseorang merasa telah menerima rezeki dari Allah, walau mungkin belum
memiliki segalanya, tapi ia masih mampu memberi, maka disitulah panggilan untuk
berkurban berlaku.
Ini bukanlah ibadah biasa. Bukan seperti shalat
sunnah yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Kurban adalah ibadah
yang di dalamnya mengalir darah dan meregangkan nyawa ini adalah sebuah
bukti cinta kepada Allah ﷻ.
Jangan sampai kita remehkan. Maka ketika
seseorang diberi kelebihan rezeki, walau tidak merasa kaya, tapi cukup untuk
makan, cukup untuk hidup, dan masih ada sisa, maka jangan ditunda.
Berkurbanlah. Tunjukkan cinta dan syukurmu kepada Allah ﷻ.
Yakinlah, Allah tidak akan membiarkanmu
kekurangan karena berkurban. Dia pasti akan menggantinya. Allah Maha Kaya, dan
Dia tidak pernah mengecewakan hamba-Nya yang memberi karena ingin dekat
dengan-Nya.
Semoga Allah ﷻ memudahkan kita untuk melakukan ibadah yang mulia ini dan menerima setiap amalan sholih yang kita persembahkan hanya untuk-Nya. Aamiin.
Tulisan ini disadur dari video pendek berjudul “Kurban, Apakah Harus Kaya Dulu?” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru


.png
)

