

Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini terkadang tidak
seperti yang kita harapkan dan rencanakan. Anak merupakan anugerah dari Allah ﷻ yang tidak
diberikan kepada setiap hamba-Nya. Sebagian orang diberi anak segera setelah
menikah, sebagian lain ada yang 2 tahun belum punya anak, ada yang 16 tahun,
ada yang 21 tahun tidak kunjung dikaruniai seorang anak, bahkan ada pula yang
tidak pernah diberi anak hingga akhir hayat. Semua itu terjadi atas dasar
kehendak dan hikmah Allah yang Maha Mengetahui.
Apakah mereka yang belum dikaruniakan seorang anak
berarti tidak bahagia? Belum tentu. Apakah pasangan yang bahagia itu harus
memiliki anak? Tidak harus. Allah ﷻ berfirman,
ﵟلِّلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثٗا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ 49 أَوۡ يُزَوِّجُهُمۡ ذُكۡرَانٗا وَإِنَٰثٗاۖ وَيَجۡعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًاۚ إِنَّهُۥ عَلِيمٞ قَدِيرٞ 50ﵞ
"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia
menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia menganugerahkan anak-anak perempuan
kepada siapa yang Dia kehendaki, dan menganugerahkan anak-anak laki-laki kepada
siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan keduanya, laki-laki dan
perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (QS Asy-Syura: 49–50)
Ayat ini menegaskan bahwa pemberian anak, baik laki-laki
maupun perempuan, atau bahkan tidak diberi anak sama sekali, semuanya merupakan
ketentuan dari Allah ﷻ yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun. Tidak semua orang yang
memiliki anak pasti bahagia, dan tidak semua yang tidak punya anak pasti
menderita. Banyak contoh dari para Nabi yang tidak dikaruniai anak, tetapi
mereka tetap mulia dan bahagia dengan kedudukan mereka di sisi Allah ﷻ.
Di antaranya Ummul Mukminin yang mulia Aisyah binti Abi
Bakr, istri Nabi ﷺ, tidak memiliki anak, tetapi beliau tetap menjadi salah satu
wanita terbaik umat ini. Apakah beliau tidak berdoa pada Allah untuk dikaruniai
anak? Tentu saja berdoa. Bahkan saking inginnya memiliki anak, Aisyah pernah
meminta izin kepada Nabi untuk memakai kunyah (gelar) “Ummu Abdillah”
yang diambil dari nama keponakannya, Abdullah bin Zubair, padahal bukan anaknya
sendiri.
Doa dan Harapan Tidak Selalu Menjadi Kenyataan
Banyak orang berdoa dan berharap memiliki anak, tetapi
tetap belum dikabulkan oleh Allah. Ini bukan berarti doa tersebut ditolak.
Rasulullah ﷺ telah menjelaskan bahwa setiap doa pasti dikabulkan, tetapi
terkadang dalam bentuk yang berbeda. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا
أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ،
وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَكُفَّ عَنْهُ
مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا
"Tidaklah
seorang muslim berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak
memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberikan salah satu dari tiga
hal: dikabulkan doanya segera, atau disimpan untuknya di akhirat, atau
dijauhkan dari keburukan yang setara dengan doanya." (HR Aḥmad,
no. 11133, dihasankan oleh Syekh al-Albani)
Maka,
seseorang yang berdoa meminta anak lalu belum dikaruniai anak, bisa jadi Allah
sedang menyiapkan pahala besar untuknya di akhirat, atau sedang melindunginya
dari keburukan yang belum ia ketahui. Allah ﷻ berfirman dalam surat al-Kahfi,
ﵟوَٱلۡبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيۡرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابٗا وَخَيۡرٌ أَمَلٗاﵞ
"Dan
amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik di sisi Tuhanmu sebagai pahala dan
lebih baik sebagai harapan." (QS. Al-Kahfi: 46)
Doa
termasuk bagian dari al-bāqiyāt aṣ-ṣāliḥāt, yang lebih kekal dan
berharga dibanding anak dan harta. Jadi, ketika kita berdoa
meminta anak, dan tidak kunjung dikabulkan bahkan sampai mati pun tidak kunjung
pula punya anak. Maka ingat, yang lebih baik dan yang lebih bisa diharapkan
jadi aset buat akhirat kelak adalah doa-doa yang telah dipanjatkan kepada Allah
ﷻ.
Kebahagiaan Sejati Tidak Bergantung pada Anak, Harta,
atau Dunia
Dalam kehidupan, banyak orang mengira bahwa kebahagiaan
hanya bisa diraih dengan memiliki apa yang diinginkan, rumah besar, kendaraan
mewah, pasangan ideal, dan anak keturunan. Namun, pada hakikatnya, kebahagiaan
bukan terletak pada terpenuhinya semua itu. Kebahagiaan yang sejati bersumber
dari hati yang tenang dan ridho terhadap takdir Allah, menerima segala yang
Allah takdirkan untuk dirinya. Nabi Muḥammad ﷺ bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ،
وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi
kekayaan yang sejati adalah hati yang kaya.” (HR Bukhari, no. 6454 dan Muslim, no. 1051)
Bagi mereka yang belum memiliki keturunan, semoga hadits
ini menjadi pelipur lara. Sebab memiliki anak bukanlah satu-satunya ukuran
keberhasilan atau sumber kebahagiaan dalam hidup. Justru hati yang lapang, yang
tunduk dan berserah kepada Allah, itulah surga dunia yang hakiki. Ketika
seseorang memiliki hati yang qana‘ah (merasa cukup), ia tidak akan mudah
dirundung kesedihan karena sesuatu yang belum bisa ia miliki.
Semoga Allah ﷻ memberikan
kepada kita petunjuk, iman yang kokoh, dan hati yang selalu bergantung
pada-Nya. Karena hati yang ridho dengan segala ketetapan Allah adalah nikmat
yang jauh lebih besar daripada dunia dan segala isinya.
Tulisan ini disadur dari kajian berjudul “Mengevaluasi Peran Orang Tua” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).
Youtube Terbaru





Artikel Terbaru




