Apakah Tidak Punya Anak Berarti Tidak Bahagia?
Apakah Tidak Punya Anak Berarti Tidak Bahagia?

Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini terkadang tidak seperti yang kita harapkan dan rencanakan. Anak merupakan anugerah dari Allah yang tidak diberikan kepada setiap hamba-Nya. Sebagian orang diberi anak segera setelah menikah, sebagian lain ada yang 2 tahun belum punya anak, ada yang 16 tahun, ada yang 21 tahun tidak kunjung dikaruniai seorang anak, bahkan ada pula yang tidak pernah diberi anak hingga akhir hayat. Semua itu terjadi atas dasar kehendak dan hikmah Allah yang Maha Mengetahui.

 

Apakah mereka yang belum dikaruniakan seorang anak berarti tidak bahagia? Belum tentu. Apakah pasangan yang bahagia itu harus memiliki anak? Tidak harus. Allah berfirman,

 

ﵟلِّلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثٗا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ 49 أَوۡ يُزَوِّجُهُمۡ ذُكۡرَانٗا وَإِنَٰثٗاۖ وَيَجۡعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًاۚ إِنَّهُۥ عَلِيمٞ قَدِيرٞ 50 

"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia menganugerahkan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan menganugerahkan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan keduanya, laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (QS Asy-Syura: 49–50)

 

Ayat ini menegaskan bahwa pemberian anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau bahkan tidak diberi anak sama sekali, semuanya merupakan ketentuan dari Allah yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun. Tidak semua orang yang memiliki anak pasti bahagia, dan tidak semua yang tidak punya anak pasti menderita. Banyak contoh dari para Nabi yang tidak dikaruniai anak, tetapi mereka tetap mulia dan bahagia dengan kedudukan mereka di sisi Allah .

 

Di antaranya Ummul Mukminin yang mulia Aisyah binti Abi Bakr, istri Nabi , tidak memiliki anak, tetapi beliau tetap menjadi salah satu wanita terbaik umat ini. Apakah beliau tidak berdoa pada Allah untuk dikaruniai anak? Tentu saja berdoa. Bahkan saking inginnya memiliki anak, Aisyah pernah meminta izin kepada Nabi untuk memakai kunyah (gelar) “Ummu Abdillah” yang diambil dari nama keponakannya, Abdullah bin Zubair, padahal bukan anaknya sendiri.

 

Doa dan Harapan Tidak Selalu Menjadi Kenyataan

Banyak orang berdoa dan berharap memiliki anak, tetapi tetap belum dikabulkan oleh Allah. Ini bukan berarti doa tersebut ditolak. Rasulullah telah menjelaskan bahwa setiap doa pasti dikabulkan, tetapi terkadang dalam bentuk yang berbeda. Rasulullah bersabda,

مَا ‌مِنْ ‌مُسْلِمٍ ‌يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَكُفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا

"Tidaklah seorang muslim berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak memutuskan silaturahmi, melainkan Allah akan memberikan salah satu dari tiga hal: dikabulkan doanya segera, atau disimpan untuknya di akhirat, atau dijauhkan dari keburukan yang setara dengan doanya." (HR Aḥmad, no. 11133, dihasankan oleh Syekh al-Albani)

 

Maka, seseorang yang berdoa meminta anak lalu belum dikaruniai anak, bisa jadi Allah sedang menyiapkan pahala besar untuknya di akhirat, atau sedang melindunginya dari keburukan yang belum ia ketahui. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi,

 

ﵟوَٱلۡبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيۡرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابٗا وَخَيۡرٌ أَمَلٗاﵞ 

"Dan amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik di sisi Tuhanmu sebagai pahala dan lebih baik sebagai harapan." (QS. Al-Kahfi: 46)

 

Doa termasuk bagian dari al-bāqiyāt aṣ-ṣāliḥāt, yang lebih kekal dan berharga dibanding anak dan harta. Jadi, ketika kita berdoa meminta anak, dan tidak kunjung dikabulkan bahkan sampai mati pun tidak kunjung pula punya anak. Maka ingat, yang lebih baik dan yang lebih bisa diharapkan jadi aset buat akhirat kelak adalah doa-doa yang telah dipanjatkan kepada Allah .

 

Kebahagiaan Sejati Tidak Bergantung pada Anak, Harta, atau Dunia

Dalam kehidupan, banyak orang mengira bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih dengan memiliki apa yang diinginkan, rumah besar, kendaraan mewah, pasangan ideal, dan anak keturunan. Namun, pada hakikatnya, kebahagiaan bukan terletak pada terpenuhinya semua itu. Kebahagiaan yang sejati bersumber dari hati yang tenang dan ridho terhadap takdir Allah, menerima segala yang Allah takdirkan untuk dirinya. Nabi Muḥammad bersabda,

 

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sejati adalah hati yang kaya.” (HR Bukhari, no. 6454 dan Muslim, no. 1051)

 

Bagi mereka yang belum memiliki keturunan, semoga hadits ini menjadi pelipur lara. Sebab memiliki anak bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan atau sumber kebahagiaan dalam hidup. Justru hati yang lapang, yang tunduk dan berserah kepada Allah, itulah surga dunia yang hakiki. Ketika seseorang memiliki hati yang qana‘ah (merasa cukup), ia tidak akan mudah dirundung kesedihan karena sesuatu yang belum bisa ia miliki.

 

Semoga Allah memberikan kepada kita petunjuk, iman yang kokoh, dan hati yang selalu bergantung pada-Nya. Karena hati yang ridho dengan segala ketetapan Allah adalah nikmat yang jauh lebih besar daripada dunia dan segala isinya.

 

Tulisan ini disadur dari kajian berjudul “Mengevaluasi Peran Orang Tua” yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).