Mereka Adalah Para Tamu Allah ﷻ
Mereka Adalah Para Tamu Allah ﷻ

Setiap tahunnya, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tanah suci. Mereka datang dengan niat yang sama, melaksanakan ibadah haji. Dari berbagai latar belakang, bahasa, dan usia, mereka memenuhipanggilan yang sama, panggilan dari Allah . Mereka meninggalkan rumah, keluarga, pekerjaan, dan rutinitas mereka untuk sementara waktu. Bukan untuk berlibur, bukan pula untuk urusan dunia. Mereka pergi dengan satu tujuan, menjadi tamu Allah . Rasulullah bersabda,

 

الْغَازِي ‌فِي ‌سَبِيلِ ‌اللَّهِ، ‌وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ، وَفْدُ اللَّهِ، دَعَاهُمْ، فَأَجَابُوهُ، وَسَأَلُوهُ، فَأَعْطَاهُمْ

“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumrah adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah, pasti akan Allah beri.” (HR Ibnu Majah, no. 2893, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

 

Bukan hanya satu hadits saja yang menyebut bahwa jamaah haji adalah tamu-tamu Allah . Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda,

 

‌وَفْدُ ‌اللهِ عز وجل ‌ثلاثة: الغازي، والحاجُّ، والمُعْتَمِرُ

“Tamu Allah ada tiga: orang yang berperang, orang yang berhaji, dan orang yang berumrah.” (HR An-Nasa’I, no. 3121, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

 

Gelar tamu kehormatan Allah tidaklah diberikan kepada siapa pun, melainkan kepada tiga golongan mulia ini. Termasuk di antaranya adalah orang-orang yang berhaji dan berumrah. Kita mungkin merasa biasa saja, tetapi ternyata telah dijamu oleh Allah , diundang langsung ke rumah-Nya. Betapa besar nikmat ini.

 

Perintah untuk berhaji bukanlah perintah biasa. Ribuan tahun yang lalu, setelah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam meninggikan bangunan Ka'bah bersama putranya Ismail, Allah perintahkan beliau untuk menyeru umat manusia agar datang ke rumah-Nya. Perintah ini terekam dalam firman-Nya,

 

ﵟوَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالٗا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٖ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٖ 27 لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۖ فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡبَآئِسَ ٱلۡفَقِيرَﵞ 

”(27) Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (28) Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS Al-Hajj: 27-28)

 

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, saat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menerima perintah ini, beliau sempat bertanya, “Wahai Rabb-ku, bagaimana aku bisa menyampaikan panggilan ini kepada manusia, sedangkan suaraku tidak akan sampai kepada mereka?”

 

Lalu Allah menjawab, “Serulah, dan Kami-lah yang akan menyampaikannya.”

 

Maka Nabi Ibrahim pun menyeru. Dengan kuasa Allah , suara itu menembus waktu, menjangkau sulbi-sulbi manusia yang belum lahir, menggetarkan hati siapa pun yang kelak ditakdirkan untuk datang memenuhi panggilan-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/363-364)

 

Maka tidak ada lagi alasan untuk berkata, “Aku belum dipanggil.” Karena pada asalnya engkau sudah dipanggil, sejak ribuan tahun yang lalu, saat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menyerukan undangan itu atas perintah Allah .

Banyak yang dipanggil, tapi tidak semua mendengar. Tidak semua memenuhi.

 

Coba renungkan… Bukankah sering kita melihat seorang suami dipanggil istrinya, tapi tak menjawab? Anak dipanggil orang tuanya, tapi tak menyahut? Padahal mereka bukan tuli. Lantas kenapa tidak merespon? Karena perhatian mereka sedang tersita pada hal lain. Mereka sibuk. Mereka tidak fokus. Begitu pula panggilan Allah untuk menunaikan haji. Bisa jadi suara itu telah datang, tapi hati kita terlalu sibuk untuk mendengarnya. Terlalu banyak urusan dunia yang menyita perhatian, hingga tak sempat mendengar panggilan ke rumah-Nya.

 

Padahal, zaman dahulu, banyak orang yang berangkat haji dengan jalan kaki, membawa diri mereka dalam perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Mereka menempuh jarak berbulan-bulan, berjalan kaki, atau dengan unta yang kurus, dalam kondisi yang sangat sederhana dan penuh tantangan. Mungkin, perjalanan mereka melewati gurun-gurun panas, medan berat, dengan segala rasa lelah dan kesulitan. Apa tujuannya? Hanya satu, untuk meraih keridhaan Allah dan mendapatkan manfaat yang lebih besar bagi diri mereka sendiri.

 

Bagi yang berangkat haji, jangan pernah berpikir bahwa Allah membutuhkan kita untuk menunaikan ibadah ini. Kita meninggalkan rumah, mengeluarkan uang yang banyak, menanggung lelah, dan meninggalkan pekerjaan kita, semua itu bukanlah untuk memenuhi kebutuhan Allah. Dia tidak membutuhkan kita sedikit pun.

Sebagaimana yang Allah sampaikan dalam hadis Qudsi,

 

يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّى فَتَضُرُّونِى وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِى فَتَنْفَعُونِى

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan dapat membinasakan-Ku dan kalian tak akan dapat memberikan manfaat kepada-Ku.” (HR Muslim, no. 2577)

 

Maka, bagi mereka yang telah menabung dan berangkat haji, ingatlah bahwa Allah tidak membutuhkan kita. Sebaliknya, Dia memberikan kesempatan kepada kita untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, keuntungan di dunia dan akhirat. Kita berangkat bukan karena Allah membutuhkan kita, tetapi karena Allah memanggil kita untuk meraih keberkahan dan ampunan-Nya.

 

ﵟإِنۡ أَحۡسَنتُمۡ أَحۡسَنتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡۖ ﵞ 

“Jika kamu berbuat baik, maka kebaikan itu untuk dirimu sendiri.” (QS Al-Isra: 7)

 

Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala kebaikan yang kita lakukan pada akhirnya kembali kepada diri kita sendiri. Ketika kita berbuat kebaikan, baik itu kepada Allah , sesama manusia, atau bahkan kepada diri kita sendiri, kita sebenarnya sedang memperbaiki kehidupan kita. Begitu pula dengan ibadah haji, setiap perjuangan, setiap pengorbanan yang dilakukan oleh orang-orang yang berangkat ke Baitullah, pada hakikatnya adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri.

 

Ketika Allah memanggil kita untuk berhaji atau berumrah, itu adalah panggilan yang sangat spesial. Kita dipilih untuk menjadi tamu-Nya. Sebagai seorang tamu kehormatan, kita harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Bukan hanya fisik yang harus siap, tetapi hati, niat, dan pengetahuan kita juga harus dipersiapkan.

 

Sebagai tamu Allah , kita tidak bisa datang dengan tangan kosong dan tanpa persiapan. Seperti kita mempersiapkan diri untuk bertamu di rumah orang penting, kita juga harus mempersiapkan diri untuk menjadi tamu Allah dengan ilmu yang cukup, niat yang tulus, dan hati yang bersih. Tidak ada alasan untuk merasa belum pantas, karena Allah sendiri yang memilih kita. Namun, sebagai tamu-Nya, kita harus menjaga kehormatan panggilan ini.

 

Selain itu, kita juga harus mempersiapkan rezeki yang halal untuk perjalanan ibadah ini. Dengan rezeki yang halal, ibadah kita akan lebih berkah dan diterima oleh Allah . Mencari rezeki yang baik dan menjaga sumbernya adalah bagian penting dari persiapan kita, karena setiap langkah yang kita ambil menuju rumah Allah , harus dilakukan dengan cara yang Allah ridhoi.

 

Maka, kita harus berusaha untuk mempelajari segala hal tentang ibadah haji dan umrah, mengetahui syarat-syaratnya serta rukun-rukunnya. Kita harus menyiapkan diri kita untuk menyambut panggilan ini dengan penuh kesiapan, agar ibadah kita menjadi ibadah yang diterima dan penuh berkah. Ini adalah kesempatan luar biasa, dan sudah seharusnya kita memantaskan diri untuk menjadi tamu Allah yang terhormat.

 

Betapa mulianya menjadi tamu Allah , sebuah kehormatan yang tak ternilai. Semoga kita termasuk orang-orang yang dimudahkan oleh Allah untuk bisa menjadi tamu kehormatan-Nya. Semoga kita dapat mempersiapkan ibadah tersebut dengan kematangan hati, fisik yang kuat, dan rezeki yang halal.

 

 

Tulisan ini disadur dari serial kajian berjudul “Mereka Adalah Tamu Allah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. (dosen di Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi'i / STDIIS, Jember).